Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh dana atau pembiayaan di pasar modal, salah satunya melalui transaksi repurchase agreement atau REPO.

REPO pada dasarnya adalah mekanisme perolehan pinjaman jangka pendek dengan sekuritas sebagai jaminannya. Dalam suatu transaksi REPO, penjual melakukan penjualan sekuritas kepada pembeli dan sekaligus berjanji untuk membeli kembali sekuritas tersebut di kemudian hari dengan harga yang lebih tinggi. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa penjual adalah peminjam dana, sedangkan pembeli adalah pemberi pinjaman. Pembelian kembali yang dilakukan di kemudian hari dengan harga yang lebih tinggi pada esensinya merupakan pembayaran utang atau pengembalian pinjaman dengan bunga. Sekuritas yang diperjualbelikan dalam hal ini adalah agunan atau jaminan, yang mana apabila penjual/peminjam tidak dapat membeli kembali sekuritas, maka sekuritas tersebut dapat dieksekusi oleh pembeli/pemberi pinjaman.

Transaksi REPO cukup berisiko karena terpapar fluktuasi harga di pasar. Misalkan A membeli saham dari B pada harga Rp40.000,- per lembar dengan janji bahwa B akan membeli kembali saham tersebut 6 bulan dari transaksi awal pada harga Rp40.500,- per lembar. Terdapat 2 kemungkinan situasi yang terjadi 6 bulan kemudian pada saat maturity date:

  1. Harga pasar lebih tinggi dari harga REPO

Apabila harga pasar pada saat maturity date ternyata adalah Rp40.700,- per lembar, maka sebenarnya hal ini merugikan bagi A karena ia terikat untuk menjual kembali saham REPO tersebut kepada B pada harga Rp40.500,- per lembar yang lebih rendah dari harga pasar. Namun apabila pada saat maturity date B tidak dapat melakukan pembelian kembali, A dapat mengeksekusi saham REPO dan menjualnya pada harga pasar, yang mana dalam hal ini justru menguntungkan A.

  1. Harga pasar lebih rendah dari harga REPO

Apabila harga pasar pada saat maturity date ternyata adalah Rp40.300,- per lembar, maka hal ini menguntungkan bagi A dan merugikan bagi B karena B terikat untuk membeli kembali saham REPO pada harga Rp40.500,- per lembar yang lebih tinggi dari harga pasar. Namun apabila pada saat maturity date B tidak dapat melakukan pembelian kembali, A dapat mengeksekusi saham REPO dan menjualnya pada harga pasar, yang mana dalam hal ini merugikan bagi A karena ia tidak dapat menerima pengembalian uang yang telah dibayarkannya kepada B pada transaksi awal beserta bunga yang seharusnya diterima.

Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum, terutama bagi pembeli dalam transaksi REPO, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 9/POJK.04/2015 tentang Pedoman Transaksi Repurchase Agreement bagi Lembaga Jasa Keuangan yang dalam Pasal 4 ayat (1) nya mengatur:

“Setiap Transaksi Repo wajib berdasarkan pada perjanjian tertulis.”

Tidak hanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara transaksi REPO dan mewajibkan adanya perjanjian tertulis, OJK juga memandang perlu adanya suatu market standard yang menjadi patokan perjanjian tertulis bagi transaksi REPO di Indonesia. Untuk itu, diterbitkanlah Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/SEOJK.04/2015 tentang Global Master Repurchase Agreement Indonesia (SEOJK GMRA). SEOJK tersebut mengatur tentang penerapan GMRA Indonesia dan isi format GMRA itu sendiri.

Biasanya, setiap kali terdapat wanprestasi atau pihak yang gagal melaksanakan kewajibannya dalam suatu transaksi REPO pasti mengacu kepada perjanjian atau repurchase agreement itu sendiri yang telah dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Namun bukan tidak mungkin ternyata perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak itu ternyata tidak lengkap atau memberatkan salah satu pihak. Oleh karena itu dibutuhkan adanya GMRA Indonesia. Di antaranya, dalam Lampiran SEOJK GMRA terdapat market standard GMRA Indonesia yang harus digunakan oleh Lembaga Jasa Keuangan, yang pada Pasal 10 mengatur tentang Peristiwa Kegagalan. Pasal ini menjadi patokan bagi para pihak dalam transaksi REPO untuk mengatasi situasi dimana penjual tidak dapat membeli kembali sekuritas yang sudah di-REPO. Dengan demikian, para pihak dapat menyelesaikan peristiwa kegagalan dengan cara yang sesuai dengan best practice.