Para pelaku bisnis di Indonesia, khususnya yang terkait langsung sebagai pihak-pihak dalam perjanjian lisensi masih terjebak dalam ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh sengketa penyalahgunaan lisensi. Dirjen HKI dan penegak hukum lainnya khususnya Hakim, masih menggunakan alur dan prosedur penyelesaian sengketa yang umum terkait pelanggaran dan tindakan pidana merek. Merek menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 selanjutnya disebut UU Merek meliputi merek dagang dan merek jasa.

Merek itu sendiri menurut pasal 1 angka 1 UU Merek adalah “tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Suatu merek yang menjadi merek terkenal menjadi andalan pengusaha dalam memenangkan persaingan yang semakin ketat. Fakta itu menyebabkan merek-merek terkenal menjadi incaran pemalsuan merek penyalahgunaan bagi pihak-pihak yang beritikad buruk.

Sebagai bagian dari HKI, hak merek merupakan hak yang bersifat khusus. Hak khusus tersebut pada dasarnya bersifat exclusive dan monopoli yang hanya dapat dilaksanakan oleh pemilik hak, sedangkan orang lain tidak boleh untuk menggunakannya tanpa seizin pemiliknya.

Upaya hukum yang dapat dilakukan salah satu pihak apabila merasa dirugikan dengan adanya perjanjian lisensi merek diantaranya dengan penyelesaian sengketa Alternatif yang diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang menyebutkan para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

Penyelesaian sengketa dalam ruang lingkup hukum keperdataan khususnya Perjanjian Lisensi Merek dapat diselesaikan secara non litigasi yaitu penyelesain sengketa dapat diselesaikan dengan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli serta melalui arbitrase. Kemudian dapat secara litigasi diselesaikan melalui badan pengadilan dengan mempergunakan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga maupun Pengadilan Negeri (diatur dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001). Sanksi yang diberikan kepada tergugat dapat berupa ganti rugi dalam sejumlah uang, penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan menggunakan merek tersebut, serta pidana dan denda yang diterapkan bersamaan, hal ini tergantung kesalahan dari pelanggar itu sendiri.

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dapat ditarik kesimpulannya bahwa penyelesaian sengketa dalam perjanjian lisensi merek dapat melalui non litigasi (di luar pengadilan) dengan cara konsultasi, mediasi, negosiasi, atau konsiliasi atau penilaian ahli dan arbitrase (Pasal 84 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001). Selain itu dapat juga melalui litigasi (pengadilan) dimana penyelesaian sengketa merek dapat dilakukan melalui pengadilan niaga dan pengadilan negeri tergantung kepada para pihak yang bersangkutan. Sanksi yang diberikan kepada tergugat dapat berupa ganti rugi dalam sejumlah uang, penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan menggunakan merek tersebut. Pidana dan denda (Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001).