Keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat dikatakan sebagai salah satu pilar perekonomian di Indonesia, dilihat dari perannya, BUMN dapat dikatakan sebagai penyedia barang ekonomis dan jasa yang tidak disediakan oleh swasta, dalam menjalankan kegiatan usahanya BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana publik, akan tetapi tak menutup kemungkinan juga memikirkan kepentingan bisnis di dalamnya. Jika dilihat dari UU 19/2003 Tentang BUMN  (“UU BUMN’) BUMN memiliki 2 (dua) bentuk, yaitu sebagaimana tertuang dalam Pasal 9 yang menyebutkan bahwa “BUMN terdiri dari Persero dan Perum, dalam pengertiannya :

  1. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiiki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan, sedangkan
  2. Perusahaan Umum yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak lagi terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahan.

Dari penjelasan di ata ketidakpastian menentukan apakah BUMN merupakan badan hukum privat atau badan hukum publik, tak jarang menimbulkan pertanyaan bagi publik, ranah peradilan manakah yang digunakan jika terjadi sengketa atas keluarnya suatu keputusan Direksi pada BUMN? Apakah kompetensi absolut yang berwenang untuk memeriksa sengketa tersebut? Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri? Untuk menjawab hal tersebut seseorang perlu memahami terlebih dahulu karakteristik suatu BUMN serta konsep mengenai Badan/Pejabat Tata Usaha Negara Dan Keputusan Tata Usaha Negara.

Merujuk pada UU BUMN maksud dan tujuan pendirian BUMN salah satunya ialah untuk menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, sehingga dapat disimpulkan  bahwa dalam hal ini BUMN merupakan kepanjangan tangan Pemerintah untuk masyarakat. Berdasarkan pengertian Perseroan dan Perum di atas pada dasarnya UU BUMN hanya lebih menjelaskan terkait asal modal BUMN yang ditanamkan, dan tidak menjelaskan mengenai jalannya usaha  perseroan maupun perum tersebut.

Sehingga mengingat kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang sudah dipisahkan maka sesungguhnya pengelompokan BUMN sebagai badan hukum publik atau badan hukum privat tersebut tergantung pada jenis operasionalisasi dari BUMN itu sendiri, begitu juga pada kedudukan hukum pejabat yang mengeluarkan keputusan di dalamnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“ UU PTUN”) definisi dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah

“Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Kemudian definisi  dari Keputusan Tata Usaha Negara itu sendiri ialah

“suatu penetapan tertulis yang dikeluarkkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”

Selain dari pengertian tersebut dalam Pasal 2 UU PTUN juga menjelaskan bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini ialah :

  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
  2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
  3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
  4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
  5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
  7. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

Berkaitan dengan hal di atas Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintah (“UU AP”) juga menyebutkan bahwa :

“Dengan berlakunya Undang-Undang ini , Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai :

  1. Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
  2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya;
  3. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
  4. Bersifat final dalam arti lebih luas;
  5. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat

Sehingga berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengelompokan Keputusan Direksi BUMN menjadi ranah perdata atau PTUN ialah dapat dilihat dari operasionalisasi dan posisi direksi BUMN itu sendiri dalam menjalankan tugasnya, apakah posisi dan keputusan yang dikeluarkannya memenuhi unsur posisinya sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara atau tidak, dan apakah keputusan yang dikeluarkannya termasuk dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU PTUN atau tidak.