Perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, yakni perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan materil untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sampai dipisahkan oleh kematian. Tidak hanya sekadar sebagai suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum. Dalam hukum di Indonesia regulasi  mengenai perkawinan diatur dalam UU 1/1974 Tentang Perkawinan (“UU Perkawinan) :

Pasal 2

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Dalam perkawinan terdapat harta benda yang kepemilikannya diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan, di dalamnya menyebutkan bahwa harta benda  yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga jika dikehendaki, sebelum melangsungkan perkawinan, calon suami atau isteri yang memiliki harta bawaan dapat melakukan pemisahan harta dalam perjanjian perkawinan.

Tujuan dibuatnya suatu perjanjian perkawinan pada dasarnya semata-mata untuk menjaga kepentingan usaha dan menghargai martabat masing-masing pihak, apalagi jika hal tersebut menyangkut kepada kepemilikan hak atas tanah. Berbicara mengenai perkawinan campuran, yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah seorang WNI laki-laki kawin dengan seorang wanita WNA, atau sebaliknya.

Sebagaimana aturan dalam UU Perkawinan, apabila terjadi perceraian pada perkawinan campuran (Vide Pasal 57 UU Perkawinan), maka masing-masing pihak juga tetap mendapat sebahagian dari harta perkawinannya baik bergerak maupun tidak bergerak, oleh karena itu terhadap sebidang tanah yang sudah bersertifikat atas nama WNI dengan kepemilikan Hak Milik atas tanah, maka sebidang tanah tersebut juga menjadi bagian dari tanah WNA.

Di sisi lain mengingat Pasal 21 UU 5/1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria ( “UUPA”) menyebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik, maka terhadap sebidang tanah yang dimiliki oleh pasangan dengan perkawinan campuran kepemilikan hak atas tanah pada perkawinan campuran tersebut juga menjadi bagian daripada WNA, dan oleh karena WNA tidak dapat memiliki hak milik atas tanah, maka pembagian daripada kepemilikan sebidang tanah tersebut dapat dilakukan melalui penjualan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki sertifikat hak atas tanah tersebut.

Berkaitan dengan hal di atas ketentuan kepemilikan hak atas tanah melalui kewarisan yang terjadi pada pasangan perkwinan campuran, diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut ini:

a) Pasal 21 ayat (3) UUPA yang berbunyi sebagai berikut :

“orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan demikian pada warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undnag ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka wkatu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewrganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampu hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dari tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”

b) Pasal 26 UUPA yang berbunyi sebagai berikut :

  1. Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  2. Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negaranya yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (1), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Selanjutnya dalam KUH Perdata juga disebutkan bahwa, ketentuan kepemilikan hak atas tanah akibat daripada pewarisan yang didapat dari surat keterangan kewarisan juga harus memperhatikan penggolongan warga negara sebagai berikut :

a. Golongan keturunan Eropa, surat keterangan waris dibuat oleh Notaris;
b. Golongan pendudukan Asli/Pribumi, surat keterangan waris oleh para ahli waris, disaksikan oleh Lurah diketahui oleh camat;
c. Golongan keturunan Tionghoa oleh Notaris; dan
d. Golongan keturunan Timur Asing lainnya (seperti India dna Arab) surat keterangan waris dibuat      oleh Balai Harta Peninggalan.

Sehingga dari penjelasan di atas dapat kita ketahui dan simpulkan bahwa kepemilikan hak atas tanah oleh WNA dengan sertifikat hak milik ialah hanya dapat dimiliki dalam perkawinan campuran, itu pun kepemilikan hak atas tanahnya hanya dapat dimiliki dalam kurun waktu 1 (satu) tahun sebagaimana Pasal 21 ayat (3) UUPA), selain itu jika tanah tersebut merupakan harta bersama maka pembagiannya juga dapat dilakukan melalui cara menjual tanah tersebut dan memberikan hasil penjualannya kepada pihak WNA dalam perkawinan campuran tersebut.