Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang memiliki tujuan untuk menimbulkan akibat hukum tertentu. Dengan demikian, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek hukum internasional sebagai anggota masyarakat internasional agar dianggap sebagai perjanjian internasional. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyebutkan bahwa Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

Pada hakikatnya, perjanjian internasional merupakan sumber hukum internasional yang paling utama yang diakui oleh masyarakat internasional, dimana tertampung kehendak dan persetujuan negara-negara di dalamnya untuk mencapai tujuan bersama. Perlu diketahui bahwa dalam hukum internasional, dikenal 2 jenis sumber hukum, yaitu hard law dan soft law. Istilah hard law dan soft law berasal dari pandangan pakar hukum yang digunakan untuk membedakan secara sederhana antara hukum yang mengikat dan tidak mengikat. Hard law mendapatkan namanya dari sifatnya yang keras, yatu mengikat negara-negara. Ketika berhadapan dengan hard law berarti terdapat kewajiban yang telah dirumuskan secara jelas dan mengikat secara hukum, dalam hal ini dibuat secara saksama melalui ajudikasi atau penerbitan peraturan terperinci dan mendelegasikan kewenangan untuk menafsirkan dan mengimpelementasikan perjanjian tersebut. Dengan demikian, hard law menghasilkan suatu “compliance pull”, yaitu kekuatan atau tekanan untuk patuh yang lebih besar, sehingga negara-negara lebih ditekan untuk mematuhi hard law. Apabila terjadi pelanggaran hard law, maka biaya yang ditimbulkan akan lebih besar disbanding soft law. Pada umumnya, hard law menggunakan istilah perjanjian berupa konvensi, konvenan, protokol, dan treaty.

            Berbeda halnya dengan soft law, dimana pengaturan hukum yang dianggap lemah mengenai kewajiban, presisi dan delegasi. Soft law dianggap hanya mengikat secara moral karena tidak meletakkan kewajiban dan wewenang bagi para pihak yang terkait dalam perjanjian internasional. Jika legalisasinya berbentuk soft law, maka secara teoritis implementasinya akan cenderung kurang efektif. Soft law biasanya dirancang sebagai titik singgah untuk menuju legislasi yang lebih tegas. Artiannya, untuk mencapai persetujuan dalam merumuskan dan menegakkan sumber hukum international hard law, biasanya memakan waktu dan diskusi yang lama karena sifatnya yang mengikat, sehingga negara-negara peserta perundingan berusaha untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan nasionalnya. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang tetap memerlukan suatu sumber hukum internasional yang dapat dijadikan acuan bagi negara-negara di dunia untuk menentukan hukum nasionalnya terkait hal-hal tertentu tersebut, maka dari itu dibuatlah soft law yang diharapkan para pihak dapat lebih kreatif dan inovatif dalam mencari konsep penyelesaian permasalahan yang dihadapi. Istilah perjanjian yang biasa digunakan dalam soft law adalah deklarasi, rekomendasi, serta rencana aksi (action of plan).

            Perlu diketahui bahwa hard law dan soft law tidak dapat dilihat sebagai suatu kategori biner. Hal ini merupakan pendapat dari Shaffer dan Polack yang menyatakan bahwa hard law dan soft law merupakan serangkaian pilihan yang tersusun sepanjang suatu kontinum atau rangkaian kesatuan. Artinya, instrumen hukum internasional tidak dapat dikategorikan dengan hanya pilihan antara 2 kotak, yaitu kotak hard law dan kotak soft law. Melainkan, instrumen hukum internasional itu perlu sungguh-sungguh dilihat sifat dan karakteristiknya dan ditentukan di sebelah mana dia dapat ditempatkan dalam spektrum itu, apakah lebih ke arah ujung hard law, atau ke arah ujung soft law.