Investasi dipandang sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pembangunan infrastruktur, berkaitan dengan itu Pemerintah sebagai penyelenggara negara mempunyai peran penting dan strategis dalam pembangunan ekonomi, oleh karena itu penyelenggaraan penanaman modal dapat berjalan dengan baik apabila faktor yang menghambat hal tersebut telah diminimalisir. Dalam menarik para investor faktor kepastian hukum menjadi suatu hal yang paling utama, hal tersebut merujuk pada alasan-alasan yang sering kali menghambat para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia yakni di antaranya :
1. Peraturan dan kebijakan yang tidak tetap dan tidak konsisten serta tumpang tindih;
2. Prosedur perizinan yang berbelit-belit dan berbiaya tinggi;
3. Jaminan dan proteksi terhadap pelaku usaha atas investasi yang dilakukan.

Dari ketiga poin di atas hal yang selalu menjadi sorotan utama ialah mengenai perizinan. Sebagai alat perlindungan hukum yang sah, surat izin usaha merupakan salah satu wujud yang sangat penting bagi pihak yang mempunyai usaha. Pemberian izin dari pemerintah tersebut pada prinsipnya wajib dimiliki oleh para pelaku usaha untuk kelancaran bisnis usahanya. Pada praktiknya tiap-tiap sektor usaha masih diwajibkan memiliki izin-izin khusus yang harus dipenuhi agar dapat menjalankan usahanya secara resmi, aman dan nyaman.

Untuk mengatasi permasalahan perizinan di bidang investasi Pemerintah dalam hal ini telah berusaha untuk melakukan penyederhanaan terhadap prosedurnya melalui PP 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik atau dikenal sebagai PP Online Single Submission(“PP OSS”). Dalam konsideransnya, PP OSS menyatakan bahwa pembuatan PP ini adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 25 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal serta Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Berkaitan dengan hal tersebut PP OSS ini pada dasarnya juga dibuat untuk mengintegrasikan perizinan-perizinan lainnya yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama Menteri, pimpinan lembaga, Gubernur, atau Bupati/Wali Kota kepada Pelaku Usaha, sehingga dalam implementasinya PP OSS ini diharapkan dapat mengurangi masalah birokrasi atas pengurusan perizinan yang cukup menyita waktu.

Melansir hal-hal tersebut diketahui bahwa walaupun keberadaan PP OSS mengatur mengenai Nomor Induk Berusaha (NIB), yang juga berfungsi sebagai Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan Angka Pengenal Importir (API) akan tetapi pada praktiknya perizinan berusaha baru dianggap berlaku efektif setelah pelaku usaha memenuhi komitmen yang diwajibkan oleh peraturan yang berlaku dan tidak cukup hanya memiliki NIB, itu artinya kemudahan prosedur yang diberikan oleh Pemerintah melalui PP OSS ini masih dinilai menghambat laju percepatan investasi di Indonesia.

Sebelum masuk kepada dampak yang diberikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) perlu di garis bawahi bahwa pada dasarnya PP OSS tidak mencabut kewenangan apapun dari pemerintah daerah, ataupun Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Keberadaan OSS dinilai hanya mempercepat proses perizinan yang saat ini dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Menko). Meski demikian, izin sektoral tetap berada di tangan Pemerintah Daerah.

Mengingat hal diatas dan perlunya perizinan berusaha pada sektor usaha guna meningkatkan ekosistem investasi di Indonesia, maka melalui UU Cipta Kerja Pemerintah melakukan penyederhanaan perizinan berusaha, yakni dengan menerapkan prinsip perizinan berbasis risiko, adapun penyederhanaan perizinan berusaha sektor serta kemudahan persyaratan investasi tersebut terdiri atas sektor:
Pasal 26 UU Cipta Kerja :
a) kelautan dan perikanan;
b) pertanian;
c) kehutanan;
d) energi dan sumber daya mineral;
e) ketenaganukliran;
f) perindustrian
g) perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan standardisasi penilaian kesesuaian;
h) pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
i) transportasi;
j) kesehatan, obat dan makanan;
k) Pendidikan dan kebudayaan;
l) Pariwisata;
m) Keagamaan;
n) Pos, telekomunikasi, dan penyiaran; dan
o) Pertahanan dan keamanan.

Dalam pengaturannya penerapan perizinan berbasis risko tersebut memberikan perubahan-perubahan yakni :
1. Perizinan berbasis risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat resiko kegiatan usaha meliputi kegiatan usaha berisiko rendah, menengah, dan tinggi.
2. Kategori Rendah, hanya memerlukan Nomor Izin Berusaha (NIB) saja sebagai legalitas pelaksanaan izin berusaha. Kategori menengah, memerlukan NIB dan Sertifikat Standar. Sedangkan terhadap Kategori Tinggi barulah memerlukan NIB dan izin.
3. kewenangan penerbitan perizinan berusaha pada prinsipnya ada di Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang pelaksanaannya berdasarkan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh Presiden,”

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan UU Cipta Kerja masih terus mengalami pro kontra hingga pengesahannya, salah satunya ialah mengenai pelemahan kewenangan pemerintah daerah akan tetapi dari hal-hal tersebut juga dinilai dapat memberikan dampak peningkatan iklim investasi yang signifikan, yakni dengan diberikannya keterbukaan dan keleluasaan bagi para pelaku usaha untuk menanamkan modalnya di Indonesia