Kedudukan pasien dan dokter kini merupakan hubungan kontraktual, yang dimana terdapat unsur keperdataan antara dokter dan pasien serta munculnya perikatan yang terjadi saat pasien datang kepada dokter untuk minta disembuhkan penyakitnya, dan dokter berupaya menyanggupinya serta berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk pasien.

Berdasarkan teori perjanjian hubungan antara dokter dan pasien diatur dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat diri nya terhadap satu orang lain atau lebih”

Selain daripada itu, hubungan dokter dan pasien  juga dapat dikatakan sebagai hubungan perjanjian antara pemberi jasa dan penerima jasa , dimana pihak yang menerima pelayanan medis adalah pasien, sedangkan yang memberi pelayanan medis adalah dokter dan tenaga kesehatan. Dalam hal ini perjanjian yang terjadi disebut dengan perjanjian terapeutik. Menurut Cecep Triwibowo dalam bukunya yang berjudul Etika dan Hukum Kesehatan menjelaskan bahwa :

“Perjanjian terapeutik adalah perikatan yang dilakukan antara dokter dan tenaga kesehatan dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.”

Perjanjian terapeutik sebagaimana dimaksud di atas pada prinsipnya sama dengan Perjanjian pada umumnya, dimana dapat dikatakan sebagai perjanjian apabila memenuhi syarat-syarat sahnya suatu Perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pelaksanaannya perjanjian terapeutik harus dilakukan oleh orang-orang yang cakap, dimana dalam hal ini adalah para dokter dan tenaga kesehatan. Kemudian objek pada perjanjian terapeutik yaitu merupakan pelayanan medis, lalu sebab yang halal dari perjanjian ini adalah upaya penyembuhan yang berupa pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.

Untuk melakukan tindakan perjanjian terapeutik dokter dan/atau tenaga kesehatan diharuskan meminta izin terlebih dahulu. Permintaan izin ini disebut dengan informed consent. Pada tahap ini dokter dan/atau tenaga kesehatan memberikan informasi secara jelas kepada pasien mengenai upaya dalam tindakan yang bertujuan untuk mengobati pasien. Ketentuan mengenai informed consent sendiri telah diatur didalam beberapa peraturan yang berlaku diantaranya:

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan), yang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja:

“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan”

Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/II/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (Permenkes 290/2008):
Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan;
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara lisan maupun tertulis ;
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah paseien mendapatkan penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran tersebut.
Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan):

“Setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan harus mendapatkan persetujuan.

Dalam hal pasien menerima informasi tersebut dan menyetujui untuk dilakukannya tindakan terhadap dirinya, maka disinilah timbul hubungan hukum antara dokter dan pasien.

Sebagaimana sebuah perikatan, tentu saja menimbulkan kewajiban dan hak bagi para pihak begitu juga dalam perjanjian terapeutik. Perjanjian ini melahirkan kewajiban bagi pada dokter untuk memberikan pelayanan medis terhadap pasien. Dalam hal dokter lalai dalam melakukan tanggung jawabnya,  maka bentuk tanggung jawab dari dokter tersebut dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu tanggung jawab etik dan tanggung jawab hukum.

Apabila terjadinya malpraktik medis dalam hukum perdata dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu kelalaian dokter dalam memenuhi perjanjian/perikatannya (wanprestasi), dan perbuatan melawan hukum (PMH).

Tanggung jawab dokter dikarenakan wanprestasi diatur dalam Pasal 1239 KUHper yang menyebutkan:

“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila siberutang tidka memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajibanmemberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.”

Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan wanprestasi bisa lahir dikarenakan dokter tidak melaksanakan kewajibannya yang bersumber dari perjanjian terapeutik.  Bentuk wanprestasi yang dimaksud ialah:

Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan;
Terlambat melakukan tindakan yang dijanjikan;
Salah dalam melaksanakan apa yang telah diperjanjikan;
Melakukan sesuatu yang dilarang dilakukan dalam perjanjian.

Dalam hal, malpraktik medis yang terjadi diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum maka sesuai yang di atur di dalam pasa 1365 KUHper, yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”

Timbulnya tanggung jawab dokter yang menyebabkan kerugian dikarenakan tindakan dokter yang bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang di harapkan padanya. Oleh karenanya dokter dapat di tuntut ganti rugi. Sehingga berdasarkan seluruh penjelasan di atas dapat diketahui bahwa, hubungan antara dokter dan pasien dalam prespektif hukum perdata akan menimbulkan perikatan yang tentu saja patuh kepada KUHPer, sehingga jika dikemudian hari terjadi malpratik medis, dokter dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dikarenakan perjanjian diatas berada di bawah payung hukum perdata sehingga pasien pun dapat mengajukan gugatan terhadap dokter ke Pengadilan Negeri.