Yang dimaksud dengan royalti sesuai dengan Pasal 1 ankga 20 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait.

Pencipta/pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait berhak memberikan lisensi melalui perjanjian tertulis untuk melaksanakan pemanfaatan suatu ciptaan secara komersial selama jangka waktu tertentu dan tidak melebihi masa berlaku hak cipta dan hak terkait (Pasal 1 angka 20 UU Hak Cipta).

Sesuai dengan Pasal 80 ayat (1) UU Hak Cipta, kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perjanjian lisensi juga disertai kewajiban penerima lisensi untuk memberikan royalti kepada pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait selama jangka waktu lisensi. Penentuan besaran royalti dan tata cara pemberian royalti dilakukan berdasarkan perjanjian lisensi antara pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait dan penerima lisensi.

Dalam hal seperti di atas, penulis berpendapat bahwa undang-undang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemegang hak cipta untuk menawarkan produk ciptaannya guna mendapat komersial dari ciptaannya tersebut. Hanya saja perlu di catat, ruang nya sedikit dipersempit, yaitu perjanjian lisensi tersebut tidak boleh lewat dari waktu masa berlaku hak cipta tersebut. Dari penjelasan tersebut, penulis berpendapat bahwa tujuan dari pencipta menciptakan ciptaannya dan dengan adanya sistem perjanjian lisensi adalah untuk si pencipta sendiri mendapatkan nilai ekonomis dari ciptaannya. Dimana pencipta telah bersusah payah untuk menciptakan ciptaannya dan undang-undang memberikan pencipta penghargaan atas ciptaannya yaitu dengan nilai ekonomis. Hal tersebut sesuai dengan Pasa 8 UU Hak Cipta yaitu: Hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan.

Hak ekonomi sendiri merupakan salah satu jenis hak eksklusif yang merupakan bagian dari hak cipta. Secara umum, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tetapi, dalam pelaksanaan dilapangan banyak sekali terdapat penyimpangan. Yaitu seperti seseorang memakai ciptaan orang lain tanpa izin dan menggunakannya untuk tujuan komersil. Seperti pada suatu pertunjukan musik, tidak sedikit yang menggunakan lagu orang lain tanpa izin. Padahal ia dibayar dalam pertunjukan tersebut, dimana jika sesorang menggunakan ciptaan orang lain untuk tujuan komersil harus melalui izin dari pencipta. Jika hal tersebut terjadi, maka dalam hal ini undang-undang sudah menyediakan konsekuensinya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 113 UU Hak Cipta yaitu: setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

Kemudian lebih dalam lagi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/Atau Lagu, dimana dalam PP tersebut diatur lebih dalam lagi mengenai hak royalty dari pencipta. Seperti dalam Pasal 3 menyatakan: Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). LMKN adalah  lembaga bantu pemerintah non APBN yang dibentuk oleh Menteri berdasarkan Undang-Undang mengenai Hak Cipta yang memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti serta mengelola kepentinganhak ekonomi Pencipta dan pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/atau musik.  Contoh dari bentuk layanan publik yang dimaksud yaitu seperti: seminar dan konferensi komersial, restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, diskotek, konser music, pesawat udara, bus, kereta api, kapal laut, pameran dan bazar, bioskop, nada tunggu telepon, bank dan kantor, pertokoan, pusat rekreasi, lembaga penyiaran televisi dan radio, hotel dan fasilitas hotel serta usaha karaoke.

Serta kemudian, mengenai tata cara pengelolaan royalti lebih lanjut diatur dalam Pasal 9 PP 56/2021 yaitu: setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan mengajukan permohonan lisensi kepada pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait melalui LMKN. Kemudian, dalam hal ini jika ingin menggunakan lagu dan/atau musik tersebut tanpa perjanjian lisensi, maka hal tersebut tetap dapat digunakan. Seperti yang diatur dalam Pasal 10 PP 56/2021 yaitu: pembayaran royalti harus segera dilakukan setelah penggunaan secara komersial lagu dan/atau music yang digunakan.

Pada akhirnya penulis berpendapat dengan adanya UU Hak Cipta dan PP 56/2021 masyarakat diharapkan menyambut positif hal tersebut. Karena, dengan adanya payung hukum akan suatu ciptaan, maka masyarakat akan dapat lebih berkreasi/kreatif untuk menciptakan sesuatu, dan terlebih lagi melalui ciptaannya tersebut dapat menghasilkan. Lebih lanjut lagi PP 56/2021 mengatur secara lebih detail apa yang dimaksud dengan “Layanan Publik” dimana hal tersebut belum diatur secara detail dalam UU Hak Cipta.