Akhir-akhir ini salah satu isu yang banyak menjadi pembicaraan adalah terkait merger tiga bank syariah, yaitu BRIsyariah, Bank Syariah Mandiri, dan BNI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia. Langkah ini merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan perkembangan perbankan syariah di Indonesia, yang apabila dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia, cukup tertinggal. Terutama dibandingkan dengan perbankan konvensional di Indonesia, proporsi market share perbankan syariah jauh lebih kecil.

Ketertinggalan perbankan syariah di Indonesia terjadi karena sejumlah hambatan, salah satunya literasi dan inklusi keuangan syariah yang sangat rendah. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso yang dikutip oleh CNN, indeks literasi keuangan syariah hanya sebesar 8,93% dan inklusi keuangan Syariah sebesar 9,1%. Kedua angka tersebut tentunya sangat rendah dengan bahkan tidak mencapai 10%. Bahkan bisa jadi kebanyakan orang tidak terlalu memahami perbedaan bank konvensional dan bank syariah, dan hanya mengasumsikan bahwa bank syariah adalah bank untuk kelompok masyarakat tertentu saja.

Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud menjelaskan beberapa perbedaan utama antara bank konvensional dan bank syariah, sebagai berikut:

  1. Dasar Hukum

Dasar hukum perbankan konvensional ialah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan), sedangkan dasar hukum perbankan syariah ialah Al-Qur’anul Karim, yang kemudian ketentuan-ketentuan di dalamnya dirumuskan kembali dalam hukum positif Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

  1. Badan hukum

Badan hukum bank umum konvensional dapat dilihat dalam Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan, meliputi: Perseroan Terbatas, koperasi, dan perusahaan daerah. Badan hukum bank umum syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Perbankan Syariah ialah hanya dalam bentuk Perseroan Terbatas.

  1. Bunga bank

Dalam perbankan konvensional dikenal bunga bank dan time value of money. Yaitu, bahwa uang yang diinvestasikan dapat menghasilkan uang kembali dengan adanya bunga. Hal ini tidak dikenal dalam perbankan syariah, dan justr dianggap sebagai riba yang dilarang. Oleh karena itu, perbankan syariah lebih mengenal sistem bagi hasil dengan nasabah atas dasar kemitraan. Bagi hasil ini bisa dilakukan melalui beberapa pilihan akad pembiayaan seperti mudharabah, musyarakah, dan yang paling sering dilakukan saat ini yaitu murabahah.

  1. Dewan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional

Karena lembaga keuangan syariah harus beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah, maka pada setiap lembaga keuangan syariah diwajibkan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang mengawasi serta memberikan saran bagi lembaga keuangan syariah. DPS juga memastikan agar kegiatan operasional perbankan syariah sesuai dengan fatwa yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN). DSN adalah lembaga yang didirikan oleh MUI untuk memastikan bahwa kegiatan ekonomi Indonesia dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip syariah dan memiliki wewenang untuk menetapkan fatwa. Fatwa ini yang harus diikuti oleh lembaga keuangan syariah di bawah pengawas DPS. Kedua lembaga tersebut tidak dikenal dalam perbankan konvensional.