Hubungan antara Bank dan Nasabah didasari pada kepercayaan (trust) sebagai kunci utama kegiatan perbankan. Kepercayaan dalam hal ini termasuk kepercayaan Nasabah kepada Bank untuk menyimpan dan mengamankan harta serta data-datanya. Dengan demikian dapat dipahami adanya konsep Rahasia Bank dalam dunia perbankan, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 28 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, yaitu:

“Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.”

Kewajiban untuk merahasiakan informasi mengenai Nasabah penyimpan dapat ditemukan dalam Pasal 40 UU Perbankan, yaitu:

“(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi.”

Penjelasan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan:

“Apabila nasabah bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank. Bagi bank yang melakukan kegiatan sebagai lembaga penunjang pasar modal, misalnya bank selaku kustodian dan atau Wali Amanat, tunduk pada ketentuan perundang-undangan di bidang pasar modal.”

Dikenal 2 jenis prinsip kerahasiaan dalam kaitannya dengan perbankan, yaitu Rahasia Bank mutlak dan Rahasia Bank relatif. Di Indonesia dianut prinsip Rahasia Bank bersifat relatif, dimana terdapat sejumlah pengecualian terhadap kewajiban kerahasiaan. Beberapa pengecualian tersebut sebagaimana tertuang dalam UU Perbankan, di antaranya:

  1. Untuk kepentingan perpajakan (Pasal 41 UU Perbankan);
  2. Untuk penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara Panitia Urusan Piutang Negara (Pasal 41A UU Perbankan);
  3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42 UU Perbankan);
  4. Dalam perkara perdata antara Bank dengan Nasabahnya (Pasal 43 UU Perbankan);
  5. Dalam rangka tukar menukar informasi antar Bank (Pasal 44 UU Perbankan);
  6. Atas permintaaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis (Pasal 44A UU Perbankan)

Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012 juga telah memperluas pengecualian sebagaimana di atas dengan memperbolehkan membuka Rahasia Bank untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.

Adapun konsekuensi dari pelanggaran terhadap ketentuan Rahasia Bank ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 47 ayat (2) UU Perbankan, yaitu:

“Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”