Dalam hal pewarisan mungkin banyak dari setiap anak yang sangat tertarik dan cenderung mengincar hak tersebut, namun berbeda untuk sebagian lainnya yang sebaliknya bingung untuk bagaimana pengelolaan warisan tersebut agar bisa terbagi dengan adil dalam keluarga. Juga menggunakannya dengan seamanah mungkin, karena warisan juga adalah sebuah amanah.

Misalnya dalam suatu keluarga, ibu atau ayahnya telah mengamanatkan sejumlah uang untuk dipakai untuk keperluan ketika ia meninggal dunia, untuk penyempurnaan jenazah, tahlil bahkan haul (100 harian), dengan harapan untuk tidak menyulitkan anak-anaknya ketika ia meninggal dunia.

Namun, ketika sang ibu atau bapak itu meninggal dunia, uang tersebut justru dipakai untuk keperluan lainnya. Mengenai hal ini perlu diperhatikan mengenai warisan dalam hukum waris Islam, dalam hal keluarga ini tunduk pada hukum Islam.

Warisan adalah semua peninggalan dari seseorang yang telah meninggal (pewaris) berupa hak dan kewajiban atau semua harta kekayaannya yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia setelah dikurangi semua hutangnya.

Sedangkan, Ahli waris merupakan orang yang menerima harta warisan. Ketentuan mengenai ahli waris dalam hukum waris adat, hukum waris perdata, dan hukum waris Islam memiliki konsep yang berbeda.

Mewariskan berarti memberikan harta warisan kepada ahli waris atau meninggalkan sesuatu kepada ahli waris atau menjadikan orang lain waris.

Lalu ada wasiat yang artinya suatu keputusan dari seseorang yang biasanya di catat dalam bentuk akta dan harus dilaksanakan setelah orang yang memberikan wasiat itu meninggal dunia.

Sejatinya pewarisan adalah perpindahan segala hak dan kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya (keluarga). Sedangkan hukum waris sendiri adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang telah ditinggalkan.

Ahli waris menurut hukum waris perdata tidak dibedakan menurut jenis kelamin layaknya dalam beberapa hukum waris adat. Seseorang menjadi ahli waris menurut hukum waris perdata disebabkan oleh perkawinan dan hubungan darah, baik secara sah maupun tidak (Pasal 832 ayat 1 Burgerlijk Wetboek). Orang yang memiliki hubungan darah terdekatlah yang berhak untuk mewaris.

Hukum Waris di Indonesia selalu dipengaruhi perkembangan tiga konsep dasar sistem pewarisan. Ketiga sistem hukum tersebut adalah hukum adat, hukum Islam dan hukum warisan Belanda atau civil law yang banyak termuat dalam Burgerlijk Wetboek. Ketiganya memiliki beberapa perbedaan mengenai unsur-unsur pewarisan, salah satunya yaitu mengenai ahli waris.

Apabila membicarakan masalah warisan, maka orang akan sampai kepada dua masalah pokok, yaitu seseorang yang telah meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaannya sebgai warisan dan meninggalkan orang-orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan tersebut.

Bilamana orang membicarakan masalah warisan, maka orang akan sampai kepada dua masalah pokok, yaitu seorang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaannya sebagai warisan dan meninggalkan orang-orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan tersebut.

Melihat dari kasus di atas, uang yang telah disisihkan dan diamanahkan tersebut termasuk Boedel yaitu warisan yang berupa kekayaan saja, dan yang perlu segera dikeluarkan dari harta orang yang telah meninggal (pewaris), yang termasuk dalam boedel adalah antara lain, biaya pengurusan jenazah, di bayarkan hutangnya, dilaksanakan wasiatnya atau hibah wasiatnya, dalam hukum waris Islam diambil zakatnya atau sewanya, dan sisanya barulah harta warisan.

Warisan bisa dikatakan sebagai amanah yang ditinggalkan oleh orang yang sudah meninggal (pewaris), jika kita tidak bisa menjaganya dan mengelolanya dengan sebaik-baiknya maka berkaitan dengan harta kepemilikan Allah SWT. melarang kepada manusia memiliki dengan cara yang tidak benar, hal ini dijelaskan dalam firman-Nya dalam Q.S An-Nisa’ (4) : 29-30 dan Q.S Al-Baqarah (2) : 188

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ عُدۡوَٰنٗا وَظُلۡمٗا فَسَوۡفَ نُصۡلِيهِ نَارٗاۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا ٣٠

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya :

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

”berdasarkan ketentuan dua ayat tersebut, kaitannya dengan harta yang ditinggalkan oleh manusia (pewaris), tidak menutup kemungkinan bahwa manusia daam penguasaannya sebelum meninggal dunia ada harta yang menjadi miliknya dan kemungkinan adalah milik orang lain. harta milik orang lain yang dimaksud, kemungkinan milik salah satu yang hidup (suami atau istri pewaris), milik kedua orang tua pewaris, milik anak-anak pewaris, milik saudara-saudara pewaris, milik kakek pewaris, milik cucu pewaris dan kemungkinan juga bisa termasuk milik dan hak-hak orang lain yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan pewaris.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa : “Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Apabila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.

Dengan begitu Haram jika yang telah disisihkan tersebut digunakan selain untuk pemulasaran jenazah hingga tahlil dan haul, sanksi yang akan diterima adalah berupa dosa karena termasuk tidak amanah dalam pengelolaannya dan penjagaannya, adapun sisa dari uang yang disisihkan tersebut seharusnya hanya boleh di pergunakan oleh yang di berikan amanah saja.