Keberadaan korporasi dengan berbagai bentuk dan usahanya di era modern saat ini sangat berpengaruh dalam memberikan kontribusi yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tentu saja membawa dampak positif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial. Akan tetapi sebaliknya, keberadaan korporasi pun dapat berdampak negatif karena dalam kenyataannya korporasi ada kalanya melakukan pelbagai tindak pidana (corporate crime) yang membawa dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat.

Pengertian korporasi menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 (Perma 13/2016) tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi menyebutkan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Perlu diketahui terdapat 2 pendapat yang berbeda mengenai pengertian korporasi itu sendiri. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa korporasi adalah kumpulan dagang yang berbadan hukum, dimana hal ini membatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang telah berbadan hukum. Alasannya, dengan berbadan hukum maka jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut. Berbeda dengan pendapat yang mengatakan bahwa korporasi tidak perlu harus berbadan hukum, dimana setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu usaha dagang maupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Berdasarkan Ketentuan BAB III PERMA 13/2016 Pasal 4 Ayat (2) juga mengatur tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Pengurus, dimana dijelaskan bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, hakim dapat menilai kesalahan korporasi dan dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila tindak pidana dilakukan dengan maksud :

  1. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
  2. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
  3. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Secara prinsipil, setiap tindak pidana harus dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Namun demikian, perlu disadari bahwa dalam konteks hukum nasional khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak diakui dan diatur secara tegas mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana. Hal ini merupakan suatu yang wajar mengingat KUHP yang saat ini berlaku masih menganut asas “societas delinquere non potest” atau “universitas delinquere non potest” yang menyatakan bahwa korporasi (badan hukum) tidak dapat melakukan tindak pidana dan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana pula.

Seiring perkembangan jaman, dianggap tidak adil bila korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya dengan manusia. Mengingat korporasi juga dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana (criminal liability), maka hal inilah yang memunculkan tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana. saat ini korporasi telah diakui sebagai subjek hukum dalam beberapa Undang-Undang Tindak Pidana Khusus, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan beberapa undang-undang tindak pidana khusus lainnya.

Dengan adanya perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dengan diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana atau kejahatan dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana, sehingga kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban korporasi adalah sebagai berikut :

  1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab.

Model pertanggungjawaban pidana korporasi ini pada hakikatnya dijiwai oleh asas “universitas delinquere non potest”, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu, dimana kewajiban yang diberikan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi.

  1. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab.

Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut, bahwa korporasi sebagai badan usaha yang dijadikan pelaku kejahatan dalam melakukan tindak pidana tidak mungkin tanpa kehendak dari pengurusnya. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu ataukah tidak tentang dilakukannya perbuatan itu.

  1. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.

Dalam pertanggungjawaban ini, ternyata untuk beberapa delik tertentu ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Dalam delik ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat, atau yang diderita oleh saingannya, keuntungan dan/atau kerugian itu adalah lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh undang-undang itu. Ternyata dipidananya pengurus tidak cukup umtuk mengadakan represi terhadap delik oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi, dan pengurusnya atau pengurus saja.