Dalam suatu perkara yang disengketakan di pengadilan, baik individu maupun badan hukum dapat mengajukan upaya hukum terhadapnya, dalam pengertiannya upaya hukum tersebut merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk melawan atau tidak menerima putusan hakim yang dijatuhkan terhadapnya. Upaya hukum yang ditempuh ini diajukan karena ada pihak-pihak yang dirugikan atau memiliki anggapan bahwa putusan hakim tersebut bertentangan dengan rasa keadilan.

Sebagaimana kita ketahui upaya hukum dibedakan menjadi 2 jenis yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa, adapun upaya hukum biasa ini mencakup perlawanan/verzet, banding, dan kasasi, dan upaya hukum luar biasa ini terdiri dari peninjauan kembali dan perlawanan pihak ketiga (derdenverzet) terhadap sita eksekutorial.

Dalam perkara pidana upaya pengajuan peninjauan kembali dapat dilakukan apabila terdapat hal-hal atau keadaan – keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap, hal demikian sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diatur dan diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diatur dan diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 66
1. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali;
2. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan;
3. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi

Pasal 67
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Selain itu hal demikian juga dikemukakan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”. Dalam penjelasan pasal tersebut perkara pidana juga menyatakan hal yang serupa sebagaimana dimaksud Pasal 268 ayat (3) KUHAP, sehingga dapat disimpulkan bahwa upaya peninjauan kembali tersebut tidak dapat dilakukan 2 kali.

Namun dalam praktiknya hal tersebut dapat dilakukan 2 kali apabila ditemukan hal tertentu, yang mana hal demikian sesuai dengan ketentuan Poin 4 dalam SEMA 07 Tahun 2014 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali yang menyebutkan :
“Permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali terbatas pada alasan yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Peninjauan Kembali yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana”

Sehingga alasan-alasan demikianlah yang dapat digunakan untuk dapat diajukannya upaya pengajuan peninjauan kembali lebih dari satu kali.