Pada dasarnya perjanjian hanya mengikat kepada pihak yang membuat perjanjian tersebut. Demikian pula apabila terjadi sengketa maka hanya melibatkan pihak dalam perjanjian saja. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Meski demikian pihak ketiga dalam suatu perjanjian memiliki peluang untuk mengajukan intervensi dalam proses persidangan. Dengan mengajukan intervensi tersebut, pihak ketiga dapat ikut dalam proses penyelesaian perkara atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. Bahwa pada dasarnya, adanya intervensi dari Pihak Ketiga adalah dibenarkan, dan hal tersebut diatur pada Reglement Recht Vordering (Rv). Menurut Rv, terdapat 3 (dua) jenis pihak intervensi dalam  suatu gugatan perdata, yaitu:

  1. Voeging, yaitu ikut sertanya pihak ketiga dalam suatu perkara perdata atas dasar inisiatif sendiri untuk membela salah satu kepentingan pihak penggugat atau pihak tergugat.
  2. Vrijwaring, yaitu ikut sertanya pihak ketiga dalam pemeriksaan perkara perdata karena ditarik oleh salah satu pihak untuk ikut menanggungnya. Biasanya penarikan dilakukan untuk membebaskan tergugat dari beban penanggungan ganti kerugikan.
  3. Tussenkomst, yaitu ikut sentarnya pihak ketiga dalam suatu perkara perata atas dasar inisiatif sendiri, tetapi tidak memihak atau membela salah satu pihak baik itu dari penggugat maupun tertugat, namun untuk membela kepentingannya sendiri.

Atas dasar tersebut pihak yang tidak terlibat langsung dalam perjanjian, dapat ikut serta mengikuti hingga menyelesaikan sengketa yang terjadi. Lalu, bagaimana dengan sengketa pada lembaga arbitrase yang pada dasarnya bersifat rahasia. Prinsip rahasia yaitu meliputi segala hal yang berkenaan dengan subjek, objek, prosedur hingga putusan dalam berperkara di lembaga arbitrase. Jika ada pihak ketiga masuk dalam sengketa dengan mengajukan intervensi maka prinsip rahasia dalam lembaga arbitrase menjadi dapat diketahui pihak lain yang mengajukan intervensi dalam proses persidangan di lembaga arbitrase.

Dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) sebenarnya mengatur mengenai dapatnya atau tidaknya pihak ketiga masuk ke dalam suatu sengketa arbitrase, sehingga pihak ketiga dapat masuk dan mengikuti berjalannya persidangan di lembaga arbitrase. Mengacu kepada Pasal 27 UU Arbitrase, bahwa semua pemeriksaan sengketa oleh Majelis Arbitrase dilakukan secara tertutup. Dengan demikian apabila Pihak Ketiga ingin masuk dalam sengketa Arbitrase yang sedang berlangsung, tidak seperti pengajuan intervensi pada penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri. Namun, hal tersebut diatur didalam Pasal 30 UU Arbitrase yaitu:

Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan”.

Pada akhirnya, penulis berpendapat masuknya pihak ketiga ke dalam suatu sengketa arbitrase pada prinsipnya adalah dibenarkan menurut undang-undang. Namun untuk tetap menjaga kerahasiaan dari sengketa yang diajukan pada lembaga arbitrase tersebut, maka ada hal-hal yang harus dilihat terlebih dahulu. Mengacu kepada Pasal 30 UU Arbitrase, bahwa majelis arbitrase dan para pihak diberikan hak oleh undang-undang untuk dapat memilih apakah kepentingan pihak ketiga tersebut benar-benar dirugikan dalam hal perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak. Sehingga walaupun ada pihak ketiga yang masuk kedalam suatu sengketa arbitrase, kerahasiaan sengketa tersebut akan tetap terjaga karena memang pihak ketiga tersebut memiliki kepentingan yang sama dengan para pihak yang ada di dalam perjanjian.