Dalam dunia hukum, dikenal beberapa profesi penegak hukum, seperti advokat, jaksa, polisi, notaris dan hakim. Hakim memiliki Kekuasaan Kehakiman, yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Hakim di pengadilan bertugas untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Dalam melakukan tugasnya tersebut, hakim berpedoman pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Meskipun tidak jarang ditemukan kasus dimana peraturan perundang-undangan belum mengatur secara jelas tentang inti suatu perkara tersebut, namun hakim dianggap mengetahui semua hukum. sehingga dilarang menolak suatu perkara dan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Hal ini adalah yang disebut dengan Asas Ius Curia Novit.

Asas Ius Curia Novit merupakan prinsip yang memandang bahwa hakim tahu akan hukumnya sehingga harus mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya. Asas ini merupakan penurunan dari Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Kemudian terwujud dalam Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan sebagai berikut:

1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.”

 

Meskipun dengan Asas Ius Curia Novit ini semua hakim dianggap mengetahui semua hukumnya, namun dalam praktik tidaklah demikian. Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua hakim tahu akan hukumnya, namun hakim tetap dituntut untuk mengetahui hukumnya. Hal ini merupakan tuntutan profesionalitas seorang hakim. Hakim sebagai organ pengadilan merupakan benteng terakhir keadilan, yang dalam memberikan pelayanannya menyelesaikan sengketa, harus memutus berdasarkan pada hukum.

Dalam hal terjadinya kekosongan hukum, maka Asas Ius Curia Novit ini juga dapat menjadi landasan penemuan hukum dan menciptakan adanya yurisprudensi (jurisprudence). Adapun menurut Bagir Manan dalam bukunya Hakim Sebagai Pembaharu Hukum, faktor-faktor yang mendorong hakim untuk melakukan penemuan hukum adalah:

  1. Hampir semua peristiwa hukum yang secara konkrit terjadi di masyarakat, tidak sepenuhnya secara tepat diatur dalam peraturan perundang-undangan
  2. Ketentuan peraturan perundang-undangan kadang tidak jelas atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain, sehingga harus dilakukan pemilihan agar diterapkan secara benar, tepat, dan adil
  3. Dinamika kehidupan masyarakat menyebabkan lahirnya peristiwa-peristiwa hukum baru yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan
  4. Larangan hakim menolak perkara dan Asas Ius Curia Novit

Dengan demikian, adanya Asas Ius Curia Novit mendorong hakim untuk mengisi kekosongan hukum dengan masuknya suatu perkara yang belum ada dasar peraturan perundang-undangannya, dan kemudia memeriksa dan mengadili berdasarkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat.