Pada hakikatnya, Direksi adalah organ yang oleh undang-undang diberikan hak dan kewajiban untuk melaksanakan kegiatan pengurusan untuk dan atas nama perseroan. Tanggung jawab yang diberikan kepada Direksi menuntut agar Direksi tidak mengambil keputusan untuk kepentingan pribadi, melainkan hanya untuk kepentingan perseroan. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi Direksi dan menempatkan Direksi sebagai organ yang harus selalu siap menerima risiko atas kebijakan yang diambilnya. Berdasarkan hal tersebut, salah satu bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada Direksi yang dianggap telah merugikan perseroan adalah Business Judgement Rule (BJR).

BJR merupakan doktrin yang pertama kali hadir dan berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1897. Poin penting dalam doktrin ini adalah mencegah pengadilan-pengadilan di Amerika untuk mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh Direksi, yang diambil dengan itikad baik, tanpa kepentingan pribadi, dan keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara sederhana, maksud dari kebijakan bisnis yang diambil oleh Direksi harus memenuhi unsur :

  1. Dilakukan dengan itikad baik dan tujuan yang benar (proper purpose);
  2. Berdasarkan unsur kehati-hatian (due care);
  3. Sesuai dengan hukum yang berlaku dan mempunyai dasar-dasar yang rasional;
  4. Dilakukan dengan cara yang layak dipercayai (reasonable belief) sebagai yang terbaik bagi Perseroan.

Ini berarti bahwa dalam menjalankan kegiatan usaha perseroan, melakukan pengurusan demi kepentingan perseroan, Direksi senantiasa dilindungi oleh BJR. Penjelasan di atas membuat Remy Sjahdeini berpendapat bahwa Direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena diambilnya suatu pertimbangan bisnis atau kebijakan bisnis, sepanjang kebijakan atau keputusan tersebut diambil berdasarkan asas fiduciary duty (FD) atau dilakukan demi kepentingan perseroan. Hal inilah yang membuat keberlakuan BJR tidak terlepas dari konsep FD, dimana jika terbukti bahwa Direksi melanggar FD, maka Direksi tersebut tidak dapat dilindungi oleh BJR.

Di Indonesia, pengaturan terkait BJR tidak diatur secara spesifik, namun beberapa ahli hukum menafsirkan konsep BJR diatur dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK), yaitu :

Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

  1. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
  3. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
  4. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

 

Pasal tersebut menegaskan bahwa Direksi tidak dapat dianggap bersalah dan dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atas kerugian yang dialami oleh perseroan sebelum adanya pembuktian bahwa Direksi telah melanggar hal-hal yang diatur dalam pasal di atas. Dengan demikian, jelaslah bahwa perlindungan BJR tidak dapat berlaku bagi Direksi yang melakukan transaksi bisnis untuk kepentingan pribadinya, mengandung kecurangan serta mempunyai benturan kepentingan di dalamnya.

Namun, mengingat tidak adanya regulasi hukum yang mengakomodir secara spesifik terkait pelaksanaa BJR ini, membuat penerapan BJR di Indonesia pun menjadi kurang maksimal. Salah satunya adalah perihal pembuktian akan pasal 97 ayat (5) di atas. Tidak ada aturan secara jelas bagaimana cara untuk membuktikan bahwa Direksi menyebabkan kerugian perseroan murni karena kesalahan dan kelalaiannya. Begitupun dengan tolak ukur untuk menilai apakah Direksi telah melakukan tanggung jawabnya dengan itikad baik dan dengan prinsip kehati-hatian.