Indonesia merupakan Negara dengan sumber daya alam yang melimpah, baik itu di bidang perkebunan, perikanan, pertanian, bahkan pertambangan. Adapun sumber daya alam yang berpotensi untuk mensejahterakan rakyat ialah di bidang pertambangan, yang tersebar di beberapa pulau di Indonesia. Bidang usaha pertambangan menjadi potensi besar untuk memicu rakyat Indonesia dalam membuka usaha di bidang pertambangan. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam mineral dan batubara sebagai investasi dari aspek hukum, ekonomi. Kekayaan dari tumpukan mineral dan batubara sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi bangsa Indonesia, hal ini sangat menarik dikaji sebagai wujud dari kegiatan usaha bangsa Indonesia.

Dengan maraknya usaha pertambangan tentunya memiliki implikasi terhadap masyarakat pada umumnya, serta usaha pertambangan pula dapat membantu meningkatkan pendapatan daerah. Adapun implikasi positif dan negatif dari usaha pertambangan, implikasi positif yaitu terbukanya lapangan pekerjaan, peningkatan ekonomi masyarakat pada umumnya, meningkatkan pendapatan daerah dll. Adapun beberapa implikasi negatif dari pengusahaan pertambangan mineral dan batu bara yaitu berkurangnya kebun-kebun masyarakat yang berada di area pertambangan, mineral dan batu bara. Agar sumber daya alam tersebut dapat membawa kepada kesejahteraan rakyat Indonesia, maka diperlukan kebijakan pertambangan yang berpihak kepada kepentingan ekonomi nasional.

Dengan demikian dibutuhkan peran pemerintah sebagai regulator dalam mengatur eksploitasi di bidang pertambangan. Oleh sebab itu peran pemerintah sangat penting karena sektor pertambangan merupakan sektor yang dimintai oleh investor asing, sedangkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945 dengan tegas menyatakan bahwa: “bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Dalam UU Cipta Kerja, adanya revisi pasal 162 UU Minerba, adapun tambahan Di antara Pasal 128 dan 129 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba disisipkan 1 pasal yakni Pasal 128A ayat (2) berbunyi:

“Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).” Ayat (3) berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.”

Ketentuan Pasal 162 UU Minerba diubah, sehingga berbunyi:

“Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana 148 dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Pasal 128A UU Cipta Kerja memuat ketentuan yang intinya memberikan insentif berupa pengenaan royalti 0 persen bagi pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara. Dia melihat pasal ini memberi keuntungan bagi pelaku tambang batu bara yang melakukan hilirisasi. Menurutnya, selama ini royalti merupakan bagian dari pendapatan negara yang diterima dari perusahaan tambang batu bara. Sebagian royalti itu masuk sebagai pendapatan daerah melalui mekanisme dana bagi hasil (DBH).

Adapun syarat jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagaimana dalam Pasal 169A UU Minerba, hal ini sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian usaha pertambangan

  1. Kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara:
  2. yang belum memperoleh perpanjangan dapat diperpanjang menjadi perizinan berusaha terkait pertambangan khusus perpanjangan pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang setelah berakhirnya kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara; dan
  3. yang telah memperoleh perpanjangan pertama dapat diperpanjang menjadi perizinan berusaha terkait pertambangan khusus perpanjangan kedua sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang setelah berakhirnya perjanjian pertama kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dengan mempertimbangkan peningkatan negara.
  4. Peningkatan penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk perizinan berusaha terkait Pertambangan Khusus perpanjangan sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dilakukan dengan:
  5. pengaturan kembali pengenaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak;
  6. pemberian luas wilayah sesuai dengan rencana kegiatan pada seluruh wilayah perjanjian yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat;
  7. kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara.
  8. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan peraturan pemerintah

Jadi dapat diambil konklusinya izin usaha pertambangan pasca terbitnya UU Cipta Kerja bahwa luasan wilayah tambang tidak dibatasi, melainkan tergantung rencana kerja perusahaan, sedangkan dalam UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara, tidak diatur mengenai perizinan tersebut, tujuan dari perizinan itu sebenarnya bertujuan untuk hilirisasi disektor tambang, dengan begitu produksi sumber daya alam yang selama ini diekspor mentah-mentah bisa mempunyai nilai tambah.