Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi, namun hasilnya masih jauh dari yang kita harapkan, serangkaian kejahatan tersebut masih saja berkembang, bahkan semakin merajalela dengan berbagai motif yang dibuatnya. Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk memberantas tindak pidana korupsi berbagai sanksi pidana telah diterapkan, yakni mulai dari pidana pokok dan pidana tambahannya.

Dasar hukum dari pemberlakuan sanksi pada tindak pidana korupsi ialah dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (UU Tipikor) yaitu :
Pasal 17
“Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18”.
Pasal 18 ayat (1)
“Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.”

Berkaitan dengan penjelasan di atas dalam perkara korupsi penjatuhan pidana tambahan berupa uang pengganti diatur dalam Pasal 3 PERMA No.5 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa pidana tambahan uang pengganti dapat dijatuhkan terhadap seluruh tindak pidana korupsi yang diatur dalam Bab II UU Tipikor, kemudian dalam undang-undang tersebut diatur juga dalam hal harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tidak dinikmati oleh terdakwa dan telah dialihkan kepada pihak lain, uang pengganti tetap dapat dijatuhkan kepada terdakwa sepanjang terhadap pihak lain tersebut tidak dilakukan penuntutan, baik dalam tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lainya, seperti tindak pidana pencurian uang.

Kemudian dalam pelaksanaan pembayaran uang pengganti, undang-undnag telah menetapkan jangka waktu yakni sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 ayat (2) UU Tipikor :
“Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam wakktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”
Selain itu disebutkan juga bahwa dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) di atas, maka nantinya pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang- undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Namun dalam praktiknya terkait dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tersebut seringkali tidak dipenuhi oleh terpidana korupsi, dan tak jarang terpidana justru lebih memilih pidana tambahan kurungan daripada harus membayar uang pengganti itu sendiri. Oleh karena itu perlunya pengertian serta kesadaran bagi seluruh masyarakat untuk turut serta melakukan tindakan pencegahan demi memberantas korupsi.