Pemberian kuasa adalah suatu perbuatan hukum yang bersumber pada persetujuan/perjanjian yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena bermacam-macam alasan, di samping kesibukan sehari-hari sebagai anggota masyarakat yang telah maju (modern), sehingga tindakan memberi atau menerima kuasa, perlu dilakukan untuk menyelesaikan salah satu atau beberapa masalah tertentu.

Dalam pasal 1792 KUH Perdata dikatakan :
“Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang meneirmanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.”

Dalam aturannya pemberian kuasa paling tidak harus selalu ada 2 (dua) pihak yang menjadi pemberi dan penerima kuasa, mengingat pemberian kuasa merupakan suatu persetujuan maka demi terciptanya tertib hukum pemberi kuasa haruslah orang dewasa dan tidak berada di bawah pengampuan sebagaimana ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata :
“Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah :
1. Anak yang belum dewasa;
2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.”

Sehingga apabila pemberi kuasa memberi kuasa kepada seorang anak yang belum dewasa, hal tersebut dapat saja dilakukan, akan tetapi si pemberi kuasa tersebut nantinya tidak dapat memintakan atau menuntut pertanggung jawaban apabila terjadi hal-hal yang merugikan si pemberi kuasa, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1798 KUH Perdata bahwa :
“orang-orang perempuan dan anak yang belum dewasa dapat ditunjuk kuasa tetapi pemberi kuasa tidaklah berwenang untuk mengajukan suatu tuntutan hukum terhadap anak yang belum dewasa, selain menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perkataan-perkataan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan bersuami yang menerima kuasa tanpa bantuan suami pun ia tidak berwenang untuk mengadakan tuntutan hukum selain menurut ketentuan-ketentuan Bab V dan VII Buku Kesatu dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini”

Kemudian mengenal lebih dalam lagi mengenai pemberian kuasa, dalam Pasal 1795 KUH Perdata terdapat 2 (dua) jenis surat kuasa diantaranya :
– Surat Kuasa Umum, adalah meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan yang meliputi segala kepentingan pemberi kuasa, kecuali perbuatan pemilikan, sedangkan
– Surat Kuasa Khusus, adalah hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih; karena itu diperlukakn suatu pemberian kuasa yang menyebutkan dengan tegas perbuatan aman yang dapat dilakukan oleh penerima kuasa.

Setelah mengetahui jenis pemberian kuasa adalagi mengenai bentuk pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1793 KUH Perdata yang menyebutkan sebagai berikut :
“kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disampaikan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.”

Adapun hak dan kewajiban pihak dari pihak pemberi maupun penerima kuasa ialah sebagai berikut :
Hak Pemberi Kuasa diatur dalam Pasal 1799 KUH Perdata; Pasal 1800 KUH Perdata; Pasal 1801 KUH Perdata; Pasal 1802 KUH Perdata; Pasal 1803 KUH Perdata; Pasal 1805 KUH Perdata; dan Kewajiban Pemberi Kuasa diatur dalam Pasal 1807 KUH Perdata; Pasal 1808 KUH Perdata; Pasal 1809 KUH Perdata; Pasal 1810 KUH Perdata; Pasal 1811 KUH Perdata; Pasal 1812 KUH Perdata

Hak Penerima Kuasa diatur dalam Pasal 1807 KUH Perdata; Pasal 1808 KUH Perdata; Pasal 1810 KUH Perdata; Pasal 1811 KUH Perdata; Pasal 1812 KUH Perdata; dan Kewajiban Penerima Kuasa diatur dalam: Pasal 1800 KUH Perdata; Pasal 1801 KUH Perdata; Pasal 1802 KUH Perdata; Pasal 1803 KUH Perdata; Pasal 1804 KUH Perdata; Pasal 1806 KUH Perdata
Dengan demikian hal-hal tersebut di ataslah merupakan poin-poin yang secara umum wajib diketahui oleh pihak pemberi maupun penerima kuasa.