Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah komisi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 75 Tahun 1999 Pasal 1:

“(1) Dengan Keputusan Presiden ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut dengan Komisi.

(2) Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga non struktural yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.”

Komisi ini dibentuk sebagai Lembaga pengawas persaingan usaha tidak sehat, yang telah diatur sedemikian rupa di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999). Persaingan usaha yang dimaksud dalam hal ini adalah agar tidak terjadinya praktek monopoli, oligopoli ataupun Tripoli. Pembentukan KPPU ini didorong oleh desakan dari International Monetary Fund (IMF) pada tahun 1998 agar terciptanya sebuah lingkungan persaingan usaha yang baik dan bersih tanpa adanya praktek monopoli ataupun oligopoli. Namun pada saat ini ke efektifan kelembagaan KPPU di dalam pemberantasan persaingan usaha yang tidak sehat belum dinilai baik dan efektif. Hal ini dapat kita lihat saat KPPU ingin melakukan pembarantasan kartel-kartel di dalam para pelaku usaha masih mengalami hambatan dan tidak berjalan baik dan efektif.

Berdasarkan Pasal 36c UU 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha:

“melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;”

Disebutkan mengenai wewenang KPPU di dalam melakukan proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap suatu kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat yang dilakukan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi dari hasil penelitiannya. Namun, wewenang tersebut belum dapat dijalankan secara efektif oleh KPPU hal ini ditimbulkan akibat keterbatasan wewenang KPPU untuk mengusut indikasi praktek kartel di dunia usaha. Salah satu kesulitannya adalah mencari bukti dugaan kuat praktik kartel itu sendiri. Menurut Komisioner KPPU Ketua Bidang Pengkajian Munrokim Minasam, KPPU harus mencari bukti secara memutar karena tak memiliki wewenang untuk menggeledah. Keterbatasan wewenang ini menjadikan kerja KPPU menuntaskan persoalan kartel menjadi terhambat.

Secara ekspisit kewenangan KPPU dijelaskan di dalam UU 5/1999 meliputi authority, enforment authority dan ligating authority. Secara prinsip, KPPU sesungguhnya merupakan Lembaga pengawas pelaksanaaan Undang-Undang dan KPPU bukan sebagai penegak hukum di bidang pidana seperti polisi, jaksa dan hakim yang memiliki upaya paksa untuk menghadirkan tersangka dalam persidangan. Namun pemahaman terhadap rumusan Pasal 36 UU 5/1999. Larangan Praktik yang menyangkut kewenangan sebagai penyidik ataupun penyelidik yang dilakukan oleh KPPU merupakan wilayah Hukum pidana, sehingga kerap dijadikan alasan yang dapat menjadi dasar bagi KPPU dalam mencari/menemukan kebenaran materiil, yaitu apakah pelaku usaha melakukan pelanggaran atau tidak. Sebagai contoh dalam kasus divestasi yang menggempur perusahaan-perusahaan infrastruktur antara lain di sektor telekomunikasi seperti perihal privatisasi PT. Satelindo Tbk. Terhadap kasus ini, KPPU melakukan penyidikan untuk membuktikan apakah kepemilkan saham Tamasex di PT. Indosat dan Telkomsel adalah suatu pelanggaran atau tidak.

Tugas dan fungsi lain di dalam KPPU ini adalah dalam hal penjatuhan putusan. Setelah melakukan proses penyelidikan dan penyidikan sehingga terbukti adanya pelanggaran, KPPU akan menjatuhkan putusan yang disertai pemberian sanksi untuk pelanggar. Putusan yang dijahkan oleh KPPU bersifat final and binding namun apabila pihak melanggar secara keberatan dengan putusan tersebut maka pihak pelanggar dapat mengajukan upaya Hukum berupa keberatan sehingga putusan akan dibatalkan di pengadilan negeri (PN) atau dilajutkan oleh yang dikalahkan di Mahkamah Agung (MA).

Pada pelaksanaanya, sering kali putusan KPPU dibatalkan Pengadilan Negeri (PN) dan pelaku usaha pada akhirnya tidak dikenakan sanksi atas pelanggaran Undang-undang yang telah dilakukan. Banyaknya putusan KPPU yang dibatalkan dalam proses upaya hukum yang diajukan oleh pihak pelanggar tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam UU 5/ 1999 itu sendiri. Terlebih lagi, bagi pihak pelapor yang dirugikan oleh terlapor sering kali tidak ada kepastian hukum dan perlindungan Hukum akibat kerugian yang telah diderita apabila Tindakan persaingan usaha yang dianggap tidak sehat tersebut pada akhirnya dinyatakan tidak terbukti. Sisi lain dalam penegakan hukum persaingan usaha pun masih terdapatnya peredaan cara pandang atau paradigma dari penegak hukum persaingan usaha di jajaran pengadilan dan investigator beserta komisi di KPPU.

Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan, peran dari kelembagaan KPPU di dalam pemberantasan persaingan usaha yang tidak sehat belum efektif dan perlu dilakukan pengkajian ulang terkait dengan pembentukan, struktural kelembagaan serta tugas dan wewenang agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan di dalam proses pemberantasan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia.