Perlu diketahui bahwa para pihak dalam membuat suatu perjanjian diberikan kebebasan untuk menentukan isi dan bentuk perjanjian, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Asas tersebut terdapat dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang berbunyi:

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”

Sehingga mengacu kepada Pasal 1338 KUHPerdata (asas kebebasan berkontrak), semua orang dapat membuat perjanjian apapun. Tetapi, meskipun diberikan kebebasan, suatu perjanjian wajib memperhatikan ketentuan keabsahan perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPer, yang berbunyi:

“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu pokok persoalan tertentu;
  4. Suatu sebab yang tidak terlarang”

Keempat syarat sah perjanjian tersebut terdiri dari syarat subjektif dan objektif. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif. Sedangkan syarat ketiga dan keempat termasuk syarat objektif. Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Di sisi lain, perjanjian menjadi batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat objektif.

Sehingga, jika para pihak dalam sebuah perjanjian ingin membuat perjanjian dan memasukkan klausul mengesampingkan upaya banding dalam penyelesaian sengketa pada pengadilan negeri harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini adalah Mengacu pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK). Lalu klausul mengesampingkan upaya banding dalam penyelesaian sengketa pada pengadilan negeri adalah merupakan bukan klausul yang lazim digunakan dan hal tersebut bertentangan dengan syarat sah perjanjian yang keempat, yaitu suatu sebab yang terlarang. Karena pada UUKK mengatur bahwa setiap putusan pengadilan negeri dapat diajukan banding kepada pengadilan tinggi. Sehingga penulis berpendapat bahwa klausul tersebut bertentangan dengan undang-undang dalam hal ini adalah UUKK, menyebabkan perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, sesuai dengan Pasal 1320 angka 4 KUHPer yaitu suatu sebab yang halal.

Apabila para pihak menghendaki suatu proses upaya penyelesaian sengketa yang tidak dapat dilakukan upaya banding dan langsung memiliki kekuatan hukum yang tetap, dapat memilih upaya proses penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).