Dalam hubungan antara konsumen dan produsen tak jarang didapati permasalahan yang menyangkut tentang perjanjian baku, isu tersebut sering muncul saat salah satu pihak merasa keberatan atas isi kontrak yang dituangkan secara sepihak, di sisi lain pencantuman klausula baku dianggap berbenturan dengan keseimbangan para pihak dalam perjanjian.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen), memberikan pengertian klausula baku sebagai berikut :
“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha ayng dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”

Ketentuan klausula tersebut sering kali ditemui dalam lingkup sehari-hari, seperti contoh ketentuan dalam pengelola parkir maupun ketentuan dalam toko –toko yang memberikan label “Pecah berarti membeli”, pada dasarnya hal demikian hanya akan berlaku jika pihak lain dalam perjanjian juga menyepakati untuk itu (Pasal 1338 KUH Perdata), adapun Kesepakatan yang dibuat dengan klausula baku tersebut sejatinya juga harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH perdata yakni mengenai syarat sahnya perjanjian:
“supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwasannya klausula baku tidak sepenuhnya dilarang sejauh disepakati oleh para pihak dan memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian, akan tetapi dalam pelaksanaannya ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan, sebagaimana di dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan konsumen :
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan abrang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Selain itu larangan dalam pencantuman klausula baku tersebut juga berarti sebab-sebab yang ditaur dalam Pasal 1337 KUH perdata yaitu “suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu yang lain tidak terlarang selain dan yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah”. Sehingga jika pencantuman klausula baku dalam sautu perjanjian tersebut telah mengindahkan ketentuan sebagiamana dijelaskan di atas, maka hal demikian sah saja untuk dilaksanakan.