Usaha waralaba atau sering dikenal dengan istilah Franchise sudah ada di Indonesia sejak tahun 1970-an. Awalnya waralaba tidak dianggap sebagai salah satu jenis usaha tetapi dipandang sebagai salah satu jenis konsep pemasaran oleh suatu perusahaan untuk mengembangkan usaha nya tanpa harus melakukan investasi pada outlet lain, tetapi menjalin kerja sama dengan pihak lain pemilik outlet. Sistem waralaba dikaitkan bukan hanya ijin penggunaan merek, teknologi dan know how melainkan juga paket atau keseluruhan dari sistem usaha milik pemilik hak (franchisor) yang mencakup merek, teknologi, know how dari proses produksi serta pengawasan yang terus menerus atas pelaksanaan usaha, metode, produksi serta kebutuhan untuk menunjang usaha.

Adapun Pengertian Waralaba menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba (PP Waralaba) adalah :

“hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”

Sebagaimana dengan pengertian di atas, adapun syarat-syarat bagi sebuah usaha untuk dapat menyelenggarakan waralaba yang di atur dalam PP Waralaba, yaitu;

  1. Memiliki ciri khas usaha;
  2. Terbukti sudah memberikan keuntungan;
  3. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;
  4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan;
  5. Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan
  6. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.

Kemudian pada Pasal 4 ayat (1) PP Waralaba, dikatakan bahwa waralaba dapat diselenggarakan dengan dibentuknya peerjanjian tertulis atau yang dikenal dengan “Perjanjian Waralaba” antara penerima hak (franchisee) kepada franchisor dengan memperhatikan hukum Indonesia. Perjanjian tersebut dibuat dengan tujuan agar franchisee dapat memanfaatkan dan/atau menggunakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau pertemuan ciri khas usaha yang dimiliki franchisor. Perjanjian Waralaba hampir selalu dibuat dalam bentuk perjanjian standar dengan klausula baku, dikarenakan berkaitan dengan permohonan franchisee untuk dapat menggunakan HKI dari franchisor, sehingga oleh karena itu franchisor harus memproteksi hak-hak istimewanya, dalam hal ini caranya adalah melalui penggunaan perjanjian waralaba dengan klausula baku di dalamnya.

Seperti pada penjelasan di atas, perjanjian waralaba umumnya dibuat dalam bentuk perjanjian standar. Artinya adalah perjanjian waralaba disusun berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang sebagai mana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yakni :

“Semua perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai Undang-undang”

Perjanjian waralaba ini juga harus tetap memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPer, yakni :

  • Kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak
  • Kecakapan dalam membuat suatu perikatan
  • Suatu pokok persoalan tertentu
  • Suatu sebab yang tidak terlarang

Dalam pembentukannya, seperti yang diatur dalam PP Waralaba Pasal 4 ayat (2) Perjanjian Waralaba harus dibuat dan/atau tertulis dalam Bahasa Indonesia. Pada penerapannya, apabila diantara para pihak merupakan Warga Negara Asing atau tidak menggunakan Bahasa Indonesia sebagai sarana utama komunikasinya maka dalam pembuatan perjanjian harus diterjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh seorang penerjemah bahasa bersertifikasi. Dalam hal ini, harus ada klausul yang menyatakan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi dari Perjanjian Waralaba tersebut.

Selain daripada hal yang disebutkan diatas, terdapat syarat paling sedikit dari klausula yang harus dimuat dalam perjanjian waralaba yang di atur pada Pasal 5 PP waralaba yaitu;

  1. Nama dan alamat para pihak;
  2. Jenis Hak Kekayaan Intelektual;
  3. Kegiatan usaha;
  4. Hak dan kewajiban para pihak;
  5. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
  6. Wilayah usaha;
  7. Jangka waktu perjanjian;
  8. Tata cara pembayaran imbalan;
  9. Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;
  10. Penyelesaian sengketa; dan
  11. Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.

Berdasarkan penjelasan di atas, isi perjanjian waralaba yang dibuat tersebut diharuskan dibuat secara sah dengan melihat ketentuan PP Waralaba dan memuat kewajiban dan hak masing-masing pihak yaitu franchisor dan franchisee dengan tujuan memberikan perlindungan hukum bagi para pihak, dan sehingga dalam penerapanya perjanjian tersebut dapat dilaksanakan sebaik-baiknya oleh para pihak yang terkait.